Makna Batin "HU" Lailatul Qadr Dalam Al Qur'an

Makna Batin "HU" Lailatul Qadr Dalam Al Qur'an

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.  (QS al-Qadr [97]:1-5).


Redaksi yang digunakan surah al-Qadr ini menarik untuk dikaji. Pertama, yang perlu diperhatikan, mengapa menggunakan kata ganti (dhamir) “hu” yang kemudian para ulama tafsir memaknainya dengan Alquran dan ada juga dengan Jibril.


Lalu, mengapa menekankan al-qadr, bukan lailat al-qadha’? Mengapa penekanan pada malam (lailat al-qadr), bukan nahar al-qadr, bukankah justru di siang hari kita menunaikan puasa, salah satu rukun Islam? Apa sesungguhnya makna lailat menurut bahasa, jumhur ulama, dan kalangan sufi?

Kalangan ulama tafsir mengatakan bahwa yang turun pada malam Lailatul Qadar (LQ) ialah turunnya Alquran ke langit bumi secara sekaligus (al-inzal), kemudian turun berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan jibril.

Ketika wahyu Alquran masih menjadi Kalam an-Nafs atau  Kalam adz-Dzati, belum disebut Alquran. Nanti disebut Alquran ketika sudah ditransformasikan menjadi Kalam al-Lafdz, ketika sudah menggunakan huruf-huruf dan tanda baca yang berbahasa Arab. Saat masih dalam bentuk Kalam Nafs, tak seorang pun tahu wujudnya seperti apa dan menggunakan bahasa apa.

Dari Kalam an-Nafs ada yang pernah ditransformasi menjadi Taurat dengan menggunakan bahasa Hebrew (Ibrani) karena dialamatkan kepada Nabi Musa yang sehari-harinya menggunakan bahasa Hebrew.

Ada juga ditransformasikan ke bentuk Injil dengan menggunakan bahasa Suryani karena dialamatkan kepada Nabi Isa yang sehari-harinya menggunakan bahasa Suryani. Ketika ditransformasikan menjadi Alquran yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad, otomatis menggunakan bahasa Arab karena bahasa sehari-hari Nabi Muhammad adalah bahasa Arab.

Pertanyaanlebih lanjut, siapa yang “menghewbrewkan” Taurat atau “menyuryanikan” Injil dan “mengarabkan”Alquran? Apakah kitab-kitab tersebut sejak dari dulu menggunakan deretan bahasa itu atau Jibril yang berperan mengartikulasikannya kepada nabi-nabi tersebut sesuai dengan bahasanya masing-masing. Atau, Nabi yang menerima wahyu itu yang mengartikulasikannya ke dalam bahasa kaumnya. Kita belum mendapatkan informasi yang jelas tentang hal ini.

Ada isyarat dalam Alquran yang menekankan Jibril menyampaikan Alquran dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas.

“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS asy-Syura [26]:192-195).

Sedangkan, ayat lain mengisyaratkan Alquran sejak zaman azalinya sudah menggunakan bahasa Arab, sebagaimana dipahami di ayat berikut. “Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS Yusuf [12]:1-2).

Dalam ayat lain Allah SWT mengisyaratkan Alquran turun dengan menggunakan cita-rasa Arab (lisanan ‘arabiyyan). “Dan sebelum Alquran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Alquran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Ahqaf [46]:12).

Antara kata “qur’anan ‘arabiyyan” (Alquran  yang berbahasa Arab) dan “lisanan ‘arabiyyan” (Alquran  yang bercita rasa Arab) aksentuasinya berbeda. Yang pertama lebih menekankan Alquran menggunakan bahasa Arab secara ketat dan yang kedua menekankan Alquran menggunakan cita rasa Arab.

Namun, ada satu hadis dari Aisyah menerangkan bahwa wahyu yang paling berat diterima Nabi Muhammad ialah yang turun dalam bentuk bunyi lonceng. Kadang-kadang Nabi berkeringat di musim dingin. Begitu beratnya menerjemahkan suara bunyi lonceng itu ke dalam bahasa Alquran sebagaimana adanya sekarang. Hadis ini bisa dipahami seolah-olah yang membahasaarabkan Alquran ialah Nabi Muhammad Saw. Allahu a’lam.

Ada isyarat dalam Alquran yang menekankan Jibril menyampaikan Alquran dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas.

“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS asy-Syura [26]:192-195).

Sedangkan, ayat lain mengisyaratkan Alquran sejak zaman azalinya sudah menggunakan bahasa Arab, sebagaimana dipahami di ayat berikut. “Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS Yusuf [12]:1-2).

Dalam ayat lain Allah SWT mengisyaratkan Alquran turun dengan menggunakan cita-rasa Arab (lisanan ‘arabiyyan). “Dan sebelum Alquran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Alquran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Ahqaf [46]:12).

Antara kata “qur’anan ‘arabiyyan” (Alquran  yang berbahasa Arab) dan “lisanan ‘arabiyyan” (Alquran  yang bercita rasa Arab) aksentuasinya berbeda. Yang pertama lebih menekankan Alquran menggunakan bahasa Arab secara ketat dan yang kedua menekankan Alquran menggunakan cita rasa Arab.

Namun, ada satu hadis dari Aisyah menerangkan bahwa wahyu yang paling berat diterima Nabi Muhammad ialah yang turun dalam bentuk bunyi lonceng. Kadang-kadang Nabi berkeringat di musim dingin.

Begitu beratnya menerjemahkan suara bunyi lonceng itu ke dalam bahasa Alquran sebagaimana adanya sekarang. Hadis ini bisa dipahami seolah-olah yang membahasaarabkan Alquran ialah Nabi Muhammad Saw.

Bagi sufi, lailatul qadar sebagaimana makhluk lain. Yang terpenting ialah mencari keridhaan Sang Pencipta malam seribu bulan itu.

Kata lailatul qadar diperoleh perdebatan yang sangat mendalam. Apakah kata lailah yang secara harfiah berarti malam atau menekankan makna simbolis (majazi). Dalam bahasa Arab, khususnya dalam syair-syair Arab, kata lailah bisa memiliki makna.

Lihat saja sebuah novel fenomenal berjudul Laila Majnun, sebuah novel sufistik yang ditulis oleh seorang sufi bernama Syekh Maulana Hakim Nidhami (1155-1223M).

Apakah kata lailah yang secara harfiah berarti malam atau menekankan makna simbolis (majazi). Dalam bahasa Arab, khususnya dalam syair-syair Arab, kata lailah bisa memiliki makna.

Lihat saja sebuah novel fenomenal berjudul Laila Majnun, sebuah novel sufistik yang ditulis oleh seorang sufi bernama Syekh Maulana Hakim Nidhami (1155-1223M).

Dalam novel ini, Laila memang nama putri seorang bangsawan, tetapi kata lailah diimajinasi sedemikian rupa sehingga lailah menyimpan makna cinta sedemikian dalam. Perhatikan cuplikan syair dalam buku tersebut:

“Oh, lilin jiwaku. Jangan kau siksa diriku ketika aku mengelilingimu. Kau telah memikatku, merampas tidurku, akalku, juga tubuhku.”

Laila adalah cahaya malam, Majnun adalah sebatang lilin. Laila adalah keindahan, Majnun adalah kerinduan. Laila menabur benih cinta, Majnun menyiraminya dengan air mata. Laila memegang cawan cinta, Majnun berdiri mabuk oleh aromanya.

“Aku bagaikan orang yang kehausan. Kau pimpin aku menuju Sungai Eufrat, lalu sebelum sempat aku minum, kau menarikku dan kembali ke kawasan panas membara. Padang pasir yang tandus. Kau mengajakku ke meja jamuan, tapi tidak pernah mempersilakanku makan! Mengapa kau menampakkannya kepadaku di awal jika tidak pernah berniat untuk membiarkan aku memiliki hartaku?”

Perhatikan juga syair pendek seorang pengantin baru yang takut kehilangan malam, “Ya laila thul, ya shubh qif! (Wahai malam bertambah panjanglah, wahai Subuh berhentilah).”

Kedua syair di atas mengambil makna simbolis (majazi) dari lailah. Syair pertama lailah lebih ditekankan kepada makna simbolisnya sebagai cinta yang sangat mendalam, keindahan, kepasrahan, keheningan, dan ketulusan.

Syair kedua malam melambangkan kebahagiaan dan kemesraan yang amat mendalam sehingga takut dipisahkan oleh keringnya siang. Dalam Lisan al-‘Arab, kamus bahasa Arab paling standar (15 jilid), kata lailah juga diartikan banyak arti. Selain berarti malam, juga bisa berarti gelap, hening, dan bahkan salah satu artinya ialah perempuan.

Jika lailah menjadi pangkalan pendaratan sesuatu yang bersifat sakral yang datang sekali setahun pada Ramadhan, patut dipertanyakan, lailah dalam arti apa yang lebih tepat menjadi pangkalan pendaratan dhamir hu dalam surah al-Qadr itu?

Oleh: Prof Nasaruddin Umar

Sumber : Satu Islam
Previous
Next Post »